Sarwo Karon berlari dari arah pintu masuk terminal menghampiri Lembu Kruwel. Ia berlari sangat cepat. Tangannya yang berayun menggenggam sebatang pisau karatan, dan sepotong runtuhan tembok di genggaman yang satu lagi. Malam itu sudah sepi. Tinggal tersisa beberapa bus kota yang masih sandar untuk bermalam, beberapa tukang ojek, dan dua warung kopi yang masih buka.
“Mati kau, anjing!” Sarwo Karon menghantamkan bongkah runtuhan tembok ke kening Lembu Kruwel tepat ketika ia menengok.
“Mati kau!” Sarwo Karon menusukkan pisaunya yang karatan ke pipi Lembu.
“Mati kau, kecoa busuk!” ia mencabut pisaunya dari pipi lalu menusukkan ke pipi sisi lainnya. Ia kemudian membantai wajah Lembu dengan puluhan tusukan sampai benar-benar mawut tak keruan.
Lembu Kruwel tak langsung mati. Ia sempat mengerang keperihan dan melontarkan umpatan. Terkutuk kau, babi kampung, katanya pada Sarwo yang ditanggapi senyum lembut dan puas. Orang-orang percaya, Lembu Kruwel adalah orang sakti. Hanya bisa mati jika tubuhnya sudah terpapar tanah. Entah dia sedang telanjang kaki, tersungkur, atau apapun selama terdapat tanah yang terpapar di bagian tubuhnya. Ia pun mati dengan cukup mudah dan murah di tangan Sarwo Karon. Wajahnya jadi sekadar serabut merah gelap, tak jauh beda dengan abon. Sarwo Karon tersenyum di samping jasadnya sambil merapikan suwiran daging wajah Lembu.
“Bahagia sekali rasanya membantaimu sepuas ini, binatang neraka,” kata Sarwo kepada Lembu dengan raut begitu cerah dan tampak menikmati aksinya.
Sarwo lantas duduk bersila di samping Lembu sambil menepuk-nepuk bahunya. Tak ada yang menyaksikan drama itu selain aku yang baru saja keluar dari kolong bus terkutuk ini. Aku sangat menikmati pemandangan itu. Nikmat sekali rasanya menyaksikan Lembu Kruwel dibantai semenyedihkan itu. Aku mengerti sekali kebahagiaan Sarwo Karon malam itu. Aku merasakan kedamaian di matanya ketika tersenyum pada korbannya.
“Kau tahu betapa cinta bisa jadi sangat kejam di dunia ini?”
***
Senin pagi, dan semua orang menjadi kejam dengan caranya sendiri. Dengan deru mesin yang penuh debu, dengan umpatan di jalanan yang menggebu, juga dengan berebut kekuasaan lewat tipu-tipu. Sarwo Karon dan Nara Kinasih memilih caranya sendiri. Mereka memilih kasih di Senin pagi. Memulai hari seperti biasa, tanpa banyak rencana dan waspada pada segala kemungkinan.
Sepuluh menit sebelum Sarwo selesai merapikan kemeja, Nara sudah tuntas menyiapkan bekal sarapan dan makan siang untuk suaminya. Kekasih paling manis yang setia singgah di dadanya. Seperti hari-hari lain kecuali Sabtu dan Minggu, ia lantas meratakan warna pipinya dan mengoleskan sedikit pewarna di bibirnya. Supaya tak terlalu kucel dan tampak sedikit lebih profesional, katanya suatu ketika di awal pernikahan pada Sarwo.
Dua puluh menit setelahnya, mereka telah melebur di jalanan yang kejam. Tiada yang lebih kejam daripada jalanan Jakarta. Kendati demikian, tak ada pula jalanan yang lebih bertabur kasih daripadanya. Bukankah semua tergantung pada bagaimana kau melihat sesuatu? Sudut dan jaraknya?
Syahdan, tibalah Sarwo Karon dan Nara Kinasih pada sebuah perempatan dengan lampu merah. Kau tentu terbayang situasi lampu merah pada Senin pagi di Jakarta. Kalau tak, bayangkan saja sesukamu.
“Peniti, benang jahit, sisir, silet…”
“Kompas media tempo warta kota…”
“Akua pucuk mijon…”
“Kerupuk ikan?” seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh dan raut lelah–meski masih pagi–berhenti di balik kaca mobil Sarwo.
“Berapa, Pak?”
“Sepuluh ribu tiga, Den.”
“Saya minta sepuluh ya.”
“Baik, Den,” kata si lelaki tua sambil menyodorkan sepuluh kantong kerupuk satu per satu.
“Terima kasih. Ini, Pak,” kau tentu terbayang apa yang terjadi. Tentu saja adegan Sarwo menyerahkan uang. Berapa pecahan uangnya, tergantung bagaimana pola berpikirmu. Berapa menurutmu?
“Terima kasih, Den. Kembaliannya…”
“Sudah, untuk Bapak saja ya, Pak.”
Berapa uang yang disodorkan Sarwo Karon menurutmu? Tiga puluh ribu? Maka kau adalah jenis orang yang suka mencari keuntungan dan punya bakat menipu orang lain. Empat puluh ribu? Mungkin kau masih bisa masuk jenis orang baik, tapi sebenarnya kau sedikit pelit. Kau masih rela atas uangmu jika tak terlalu banyak dan atau jika hatimu sedikit tersentuh dengan penampilan orang. Lima puluh ribu? Kau sedikit di atas rata-rata orang lain, meski sebenarnya masih rata-rata. Di zaman ini, pecahan uang rupiah paling masuk akal kau berikan mengingat harga tadi memang lima puluh ribuan. Ditambah sedikit rasa iba yang mulai menyembul di dadamu, kau akan merelakan sembilan belas ribu untuk si lelaki tua. Seratus ribu? Ini pecahan rupiah terbesar, kau jelas berbeda dari orang kebanyakan. Kau bisa jadi memang sudah merasa cukup rizki, sehingga seratus ribu tak terlalu jadi soal buatmu. Bisa juga kau sedikit suka cari muka dan punya bakat sombong lalu membayangkan kau memberi seratus ribu ketika aku mulai bertanya berapa pecahan yang kau berikan. Entahlah.
Sarwo Karon menyerahkan pecahan lima puluh ribu. Si lelaki tua menerima dengan sumringah. Terima kasih, Den, katanya.
Tunggu, kau mungkin sempat berpikir atau berharap situasi yang akan terjadi adalah si lelaki tua menolak pemberian itu karena ia merasa harga dirinya disenggol dengan penghapusan kewajiban kembalian itu. Tapi tidak, ini bukan adegan dalam film yang skenarionya ditulis oleh Viva Westi dan Emha Ainun Nadjib yang memang keren itu.
Dua puluh menit sejak adegan lampu merah itu, dan tibalah Sarwo dan Nara di tempat kerjanya. Tempat yang tak kalah biadab daripada jalanan Jakarta. Tempat mereka bekerja adalah tempat budak-budak negara diperas keringatnya dan diinjak-injak kepentingan atasannya yang memang tak kalah kejam daripada jalanan. Sarwo dan Nara bekerja di tempat yang sama, tapi beda lantai. Kau tentu terbayang jenis bangunan yang ada di Jakarta. Ya, bangunan angkuh yang tak peduli pada burung, kupu-kupu, dan pilot. Semoga informasi ini cukup bagimu untuk menggambarkan bagaimana mereka bekerja dan melewatkan hari demi hari dengan kegiatan yang nyaris selalu sama dan fenomena sosial yang begitu-begitu saja.
***
Di taman yang dikelilingi tumpukan beton itu, menjelang senja, usai lelah bekerja, Sarwo dan Nara bertukar kecup bibir di antara sedikit bunga-bunga manis. Seperti adegan film India. Bagi banyak orang di tempat itu, mereka berdua sangat berlebihan. Bagiku, tak berlebihan. Cinta memang perlu dirayakan. Juga hari pernikahan yang genap setahun, sah juga dirayakan. Mereka berdua hanya ingin merayakan itu dengan cara mereka sendiri. Tapi mata-mata iri dan kepala-kepala dengki yang melintas di taman itu, memandang mereka dengan cara yang tak biasa. Begitulah, kejamnya dunia dan suasana bekerja bisa saja meruntuhkan bibit-bibit kasih dan kicau-kicau merdu yang sejak kelahiran disematkan di kedalaman hatimu.
“Mengertilah tempat, Nak. Jangan berlebihan,” seorang pria berperut gendut dan berkumis putih melintas dekat sambil buang muka di sisi mereka berdua.
Nara menengok dan tersenyum kepada pria gendut itu, “Bijaklah bersikap, Pak. Jangan berlebihan.”
Tak lama, sepasang kekasih yang perempuannya mengenal Nara menghampiri mereka berdua.
“Apa yang kau lakukan?”
“Berciuman. Merayakan cinta dengan cara kami.”
Lanta perempuan itu menoleh pada pasangannya, kemudian menerima serbuan bibir lelakinya. Dua pasang pencinta berciuman di taman kali ini.
Selanjutnya, tak jauh berbeda dari kejadian sebelumnya. Sampai pada puncak senja, tujuh belas pasang kekasih berciuman di taman dengan penuh gairah. Dua orang lelaki bermain gitar, satu orang bermain pianika, dan satu orang bermain cajon di tempat yang sama. Sangat film India.
***
Selasa, ketika petang mulai merunduk dan malam mengambil alih kuasa atas waktu. Nara menyelesaikan pekerjaan dari atasannya yang menumpuk malam itu. Tak jauh beda dengan yang terjadi pada Sarwo Karon. Yang membedakan adalah alasan di balik pekerjaan yang menumpuk malam itu. Pada Sarwo, pekerjaan menumpuk karena memang jatuh tempo pekerjaan dimajukan menjadi Rabu pagi. Pada Nara, karena atasannya ingin Nara di kantor lebih lama.
“Kalau kau lelah, kau bisa selesaikan besok pagi.”
“Baik, Pak. Sekalian saja saya selesaikan malam ini. Sembari menanti suami saya. Toh ia lembur juga malam ini.”
“Bagus lah kalau begitu,” lelaki dengan burung berdiri itu lantas mendekat ke meja Nara sambil menanyakan kiranya ada yang perlu dibantu.
Nara tak ambil pusing. Ia bukan jenis perempuan yang suka pusing atas hal-hal tak penting.
“Kulihat kau berciuman sore kemarin dengan suamimu, bersamaan dengan banyak pasangan lain di taman.”
Nara hanya mengangguk.
“Pertunjukan senja yang manis.”
Nara diam.
“Ciumanmu begitu magis, Nak,” kata pria yang mirip babi tapi sedikit kurus itu sambil memindahkan lengannya ke sandaran bangku Nara.
Nara menengok curiga tapi tetap diam.
“Andai aku bisa melakukan yang sama dengan istriku. Ia bukan perempuan yang manis. Aku bahkan seringkali harus menahan sedih ketika aku pulang, tak disambutnya, tak ada kemesraan darinya, dan ia baru saja tidur dan tampaknya belum mandi. Mungkin terlalu sibuk mengurus anakku yang masih kelas dua. Menemani belajar sampai tak sempat mandi.”
Nara tetap diam. Tak peduli.
“Sudah hampir setahun, ia tak lagi menggairahkan buatku. Ia mulai malas merawat diri, mulai jarang berdandan, dan ya tentu saja, ia pun sepertiku, makin tua,” lalu ia terkekeh sambil memandang Nara dengan burung tetap berdiri.
Nara diam. Menutup pekerjaanya. Lalu mulai mematikan komputernya.
“Kau begitu menggairahkan sore itu, Nara. Cantik. Anggun. Pun malam ini. Kau tahu, Nara, aku tak mampu menahan diri melihat kecantikanmu.”
“Apa maksud, Bapak?” Nara sudah tersinggung sejak atasannya memindahkan lengan ke sandaran kursinya. Tapi ia berusaha sopan menyampaikan ketersinggungannya.
“Tidak, Nara. Maaf kalau mungkin aku kurang sopan. Aku hanya ingin jujur. Kau tampak sangat menggoda malam ini. Bagaimana pekerjaanmu?”
“Bahkan saya telah mematikan komputer saya sejak nafsu binatang Bapak masih menyala-nyala. Selamat malam,” Nara beranjak dari duduknya.
“Apa maksudmu? Selesaikan dulu pekerjaanmu. Aku tak mengizinkan kau pergi begitu saja. Selesaikan dulu baru pergi.”
“Maaf, saya tak hanya hidup untuk bekerja pada anda,” ia mulai mengurangi hormatnya dengan mengubah sebutan Bapak menjadi anda.
“Hei! Kau bawahanku, aku atasanmu. Kau harus menyelesaikan pekerjaan dariku. Itu tugasmu.”
“Saya tidak pernah menerima tugas menjadi budak atas burung yang berdiri!”
“Kau tak sopan, Nara!”
Nara beranjak dan pergi meninggalkan binatang itu. Lelaki binatang itu memegangi tangannya. Nara menampar dan tamparannya membuat si binatang terkejut. Nara berhasil melepaskan diri. Ia berlari menuju lift. Binatang itu mengejarnya.
Syukur, lift itu tak perlu waktu lama untuk menyelamatkan kehormatan Nara. Nara masuk dan bergegas menutup pintu lift sebelum binatang itu berhasil menyusul masuk ke dalam lift. Seperti adegan film-film Hollywood.
Nara tiba di lantai dasar lalu menelepon suaminya. Sangat kebetulan, seperti sinetron dalam negeri, Sarwo Karon sedang menuju lift. Dan lagi-lagi, seperti sinetron dalam negeri, mereka berdua bertemu di lantai dasar dalam keadaan baik-baik saja. Menuju parkiran dan pulang adalah adegan selanjutnya yang sangat biasa untuk bisa didramatisasi.
***
Segala yang biasa perihal bekerja tak pernah ada lagi sejak kejadian Selasa malam itu. Dendam kehormatan, kutukan, kegelisahan, jadi soal yang sehari-hari bagi kepala Nara. Bagi Sarwo Karon? Begitu juga. Sejak saat itu perkara Nara masuk kantor tak sesederhana dulu. Kebencian, waspada, dan sedikit dosis dendam tentu jadi dasar bagi kepala dan dada Sarwo.
Kau perlu tahu hal ini. Bahwa Sarwo Karon adalah jenis manusia pencinta. Beberapa jenis pencinta, sebenarnya juga jenis manusia paranoid, terlalu waspada, dan tak jarang juga pendendam dan punya potensi jadi manusia yang kejam. Kebetulan, Sarwo Karon memenuhi semua kriteria. Hal itu juga yang mendasari terjadinya awal cerita ini.
***
“Kau tak perlu menjadi pengecut.”
“Bukan soal pengecut atau tidak. Kau tak perlu pura-pura tak pernah menjadi laki-laki.”
“Itulah yang menjadi pembeda bagi orang sepertiku dan orang dari jenismu.”
“Tak ada beda antara kita. Sama-sama laki-laki. Dan tak ada laki-laki di mana pun tempat yang tak punya hasrat meniduri.”
“Bisa jadi benar. Bedanya, beberapa laki-laki punya burung yang kelewat gemar petualangan. Kendati bagiku, itu hanya jadi pembenaran bagi burung yang tak dewasa dan keteteran menjaga diri.”
“Nak, aku punya pengalaman hidup lebih banyak darimu. Kau tak perlu mengajariku perihal memperlakukan burung.”
“Ya. Tapi kepalamu terlalu dungu untuk bisa mengerti kodrat dan nilai-nilai sosial burung.”
“Kau tak tahu apa-apa soal itu, bajingan sok suci.”
“Bangsat,” kali ini suara Sarwo Karon sangat pelan. Seperti suara mesin diesel mobil buatan Jepang, nyaris tak terdengar.
“Kau tak usah sok suci dan sok setia. Kau hanya belum tahu dan belum cukup mengalami fenomena. Kau hanya belum mengerti bujuk rayu dan nikmatnya tidur.”
“Cangkemmu.”
“Tunggu saja. Istrimu masih mampu menahan diri sampai hari ini. Ia hanya belum tahu nikmatnya berpetualang dari satu ranjang ke ranjang lain, jadi kandang bagi banyak burung.”
“Kutu busuk!”
“Sabarlah, Nak. Kau mungkin masih bisa banyak bicara seakan-akan kau orang salih. Istrimu masih sedap. Bagaimana tak sedap, aku saja ingin meniduri. Bahkan ingin sekali aku meniduri di hadapanmu,” bajingan tua itupun terkekeh di hadapan Sarwo Karon.
“Sentuhlah ia sedikit saja dan kau musnah dari muka bumi ini dengan seburuk-buruk cara yang kau ketahui.”
***
Nara Kinasih mendapat wahyu kasih sayang suatu malam menjelang dini hari. Di sela mimpi yang panjang dan melelahkan, ia bangun ketakutan. Tubuhnya gemetar. Di hadapannya, duduk seorang perempuan. Sudah cukup berumur. Seumuran ibunya. Ia sangat cantik, menawan, dan wajahnya lembut menentramkan.
“Bersyukurlah kau bertemu denganku. Kembalilah tidur dan pandailah menjaga diri. Segala hal dariku yang membuatmu terpesona, melekat pada kau juga.”
Nara Kinasih tak banyak berpikir. Ia kembali tidur dan bangunlah ia pada pagi hari di mana malam hari setelahnya, Sarwo Karon melamarnya. Sejak saat itu, tak ada satupun yang mampu sedikit saja menggoyahkan loyalitas Nara Kinasih pada Sarwo Karon.
Konon, perempuan yang datang padanya malam itu adalah bidadari kasih. Ia yang mendapat wahyu dari bidadari itu akan mewarisi pesona kasih itu. Sekaligus mewarisi pula kesetiaan tak terperi yang dimiliki si bidadari. Begitu pula yang terjadi pada Nara Kinasih. Selain ia memang memiliki keturunan pencinta dari darah ibunya, Laras Tresna, dan kesetiaan dari ayahnya, Reksa Bumi, yang bagaimanapun sudah memaksa ia secara komprehensif menjadi perempuan pencinta dengan kesetiaan yang kukuh. Beruntunglah Sarwo Karon yang sebenarnya biasa saja. Kalaupun ada kelebihan Sarwo, selain ia lelaki yang setia, adalah ia orang yang tahu benar bagaimana bersikap dan tepat mencari waktu untuk bersikap. Dan karena itu pula, Nara Kinasih jatuh cinta pada Sarwo Karon.
***
“Ajaklah ia pergi ke Ujung Goa–tempat di mana kau bisa tidur dengan perempuan di mana saja, kapan saja, kendati ia bukan pasanganmu–atau di mana kau bisa temukan perempuan murah, maka kau akan tahu bahwa Lembu Kruwel sesungguhnya bukanlah lembu. Ia lebih beringas dari babi hutan dan lebih bernafsu dari anjing birahi,” si kakak, Lembu Turangga berkisah perihal adik bungsunya kepada Derap Fajar.
“Aku bisa memperkirakan itu. Tapi memang aku tak pernah menyaksikan itu dengan mata kepalaku atau setidaknya mati batinku,” Derap Fajar bereaksi dengan lembut.
“Bagimu, hanya soal kesempatan yang belum tiba saja. Barangkali, sekarang ini waktu baginya menunjukkan kesejatiannya kepadamu.”
“Bisa jadi. Semoga benar, dan aku akan mengambil sikap.”
“Percayalah padaku. Aku sangat mengenalnya. Kami bersama sejak kecil. Ia banyak cerita kepadaku. Tapi aku tak lagi mampu mengendalikannya. Aku tahu dia binatang. Tapi bagaimanapun ia adikku. Aku memilih membiarkannya menjalani takdirnya sendiri. Ia punya takdir yang berat. Dan biarlah, kata temanku, toh Tuhan bukan penulis cerita amatir.”
“Entahlah.”
“Sebelum kau bergabung bersama kami, seorang temanku pernah dibuatnya patah hati sejadi-jadinya, dan ia memutuskan bunuh diri. Kupikir, waktu itu, akan lebih baik jika temanku ini membunuh adikku saja. Terakhir kudengar, ia berusaha membujuk Bunda Nara untuk menuruti nafsu binatangnya. Makin hari makin kelewatan. Ia hanya belum tahu siapa Sarwo Karon. Semoga kali ini ia yang mati saja. Biar tuntas perjalanannya sebagai pendosa.”
“Bunda Nara? Ah, entahlah, Bung. Aku hanya masih ingin memperbaiki situasi ini. Barangkali bisa.”
***
Aku seorang supir bus. Pekerjaan yang tak elegan bagi banyak orang. Tapi bagiku, ini adalah kebahagiaan. Aku menggemari terminal, mencintai jalanan, sekejam apapun ia. Jalanan adalah kedamaian bagi orang sepertiku. Di jalanan, kita semua punya kepentingan, dan kami paham benar itu. Bahwa kami, supir bus, supir angkot, supir bajaj, kondektur, tukang ojek, copet, pengamen, pengemis, sama-sama punya kepentingan di jalanan. Dan kami semua berdamai. Bahwa kami tak jarang beradu, baik adu mulut ataupun adu lengan, tapi kami sama-sama saling mengerti. Seorang supir tahu benar bahwa memang lahan pekerjaan seorang pencopet adalah di dalam busnya. Pencopet tahu, seberat apapun harinya, ia tak akan sedikitpun mencurangi supir bus, sebab ia tahu tanpa bus ia bukan siapa-siapa. Begitu pula pengamen, pengemis, pedagang asongan. Kami sama-sama memahami. Tidak seperti para pejabat dan politikus yang tak pernah tahu bagaimana berdamai. Toh mereka juga sama dengan kami. Berbagi kepentingan. Andai mereka hidup di jalanan, aku yakin benar mereka tak akan pernah benar-benar lulus dari banyak ujian, apalagi lulus dengan memuaskan.
Suatu malam, kondekturku memutuskan untuk tak pulang dan memilih sandar di terminal. Toh, bus kami sedang bermasalah. Kami berpikir akan lebih baik memperbaikinya malam ini supaya subuh besok kami bisa jalan. Lalu malam itu juga pasca makan malam, aku mulai membongkar bus terkutuk itu. Ah, seberapapun terkutuk, toh ia tetap saja pintu rizki bagiku.
Malam itu, terminal lumayan sepi. Tinggal ada beberapa orang di warung kopi Wak Dal dan Bude Patmi. Bus yang sandar pun cuma tiga bongkah. Itupun ditinggal oleh supir dan kondekturnya. Maklum, banyak nona-nona picisan di seberang terminal. Harganya murah. Bisa dapat bonus. Kau mau tahu bonusnya? Lalat hijau tiap sekali buka. Kalau tak beruntung, bisa saja kau masuk bawa singkong, sekeluarnya dari sana singkongmu sudah jadi tape.
Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku tak turut pergi ke sana juga. Kuberi tahu perihal itu, hampir semua orang di terminal sudah mengenalku. Orang-orang tahu, bahwa Derap Fajar tak doyan perempuan. Toh bagi mereka, aku juga terlalu lembut untuk diajak beramai-ramai patungan jajan. Sekaligus terlalu miskin untuk menjajakan uangku untuk hal macam itu.
Aku tuntas mengutak-atik otot tua ini selewat tengah malam. Keluar dari kolong bus mencari udara segar. Kolong bus ini terlalu pesing untuk dilewatkan sampai pagi hari. Setengah jam sebelumnya, aku sempat mengubungi Lembu Kruwel untuk membicarakan masalahku dengannya. Sekadar mencari penjelasan dan mengkonfirmasi kebinatangannya seperti yang diceritakan Lembu Turangga.
Kulihat ia datang sendirian. Kemejanya kusut. Rautnya tampak lelah. Sepertinya ia usai jajan dan kalah dalam pertandingan ranjang itu. Di belakangnya, kulihat seorang lelaki berlari membawa sesuatu di kedua tangannya. Lelaki yang akhirnya kutahu bahwa ia adalah Sarwo Karon.
Lelaki itu, Sarwo Karon, adalah suami Nara Kinasih, perempuan muda yang cukup kesohor di kalangan kami dan baik pada orang-orang sepertiku. Konon, sebelum bekerja di tempat yang sama dengan Bunda Nara–begitu anak-anak terminal menyebut istrinya, suaminya adalah orang jalanan juga. Warga terminal juga sepertiku. Tapi ia tiga tahun lebih senior dariku. Akupun mengenalnya. Tahu banyak ceritanya dari Lembu Turangga, orang jalanan senior yang paling supel dan serba tahu.
Kebetulan, Lembu Kruwel adalah atasannya. Satu dua kali pernah kudengar cerita tentang Bunda Nara. Saking binatangnya Lembu Kruwel, konon kudengar dari Lembu Turangga, orang sebaik Bunda Nara hendak disikat juga olehnya. Binatang memang. Sama binatangnya ketika ia pertama kali bercinta denganku.
Kupikir, waktu itu, dia adalah laki-laki yang sama benar sepertiku. Laki-laki yang memang hanya bisa berhubungan dengan laki-laki. Sebab darinya, kutahu ia tak bergairah lagi dengan istrinya, bahkan tak bisa lagi berdiri. Itulah mengapa aku memutuskan mau berhubungan dengannya selama ini. Lantas cerita Lembu Turangga mulai menggetarkan hatiku, kemudian sampai puncaknya pada malam itu. Ketika aku menganggap ia benar-benar sebinatang itu sampai-sampai Mas Karon–begitu orang terminal yang akrab dengan Sarwo Karon menyebut–menghabisinya dengan cara semenyedihkan itu. Pedih melihat orang yang kucintai dihabisi seperti itu, tapi aku juga menikmati drama itu. Di mana binatang memang layak dihabisi seperti itu. Akupun menikmati ketika Sarwo Karon merapikan suwiran daging wajah Lembu Kruwel dengan pisaunya yang berlumur darah, lalu menepuk-nepuk bahunya, dan meninggalkan satu dua pesan sebelum akhirnya Lembu Kruwel musnah dari kehidupan.
***
Sarwo Karon meninggalkan tubuh Lembu Kruwel begitu saja. Toh serangga-serangga di terminal juga masih banyak yang belum makan malam. Ia pergi keluar terminal dan tak seorangpun bertanya sesuatupun. Derap Fajar mendekat ke tubuh Lembu Kruwel sepeninggal Sarwo. Ia muntah di samping mayat Lembu. Tak tahan melihat wajah Lembu yang sudah serupa abon yang masih lembab oleh darah.
“Berhentilah jadi bajingan di neraka nanti, Mas,” kata Derap Fajar kepada mayat si binatang.
Sesaat kemudian orang-orang terminal menghampiri mayat Lembu Kruwel, berkerumun sebentar sampai Lembu Turangga datang dan berbicara banyak pada mereka. Orang-orang terminal membawa mayat binatang itu ke rumah sakit dan mengatakan ia korban tabrak lari dan pura-pura tak terjadi apa-apa. Dan setelahnya, seperti ribuan pembunuhan lainnya, hari-hari masih berjalan sebagaimana biasa.